Perwakilan Kota Malang
ArabicEnglishIndonesian

perseorangan

Persyaratan Nazhir Badan Hukum

Perubahan Nadzir Perseorangan ke Nazhir Yayasan dapat dipersepsikan sebagai upaya perubahan status wakaf, dari yang awalnya diserahkan kepada nazhir (pihak penerima harta benda wakaf) perseorangan ke nazhir badan hukum.

Sebelum menjelaskan perubahan nazhir,  terlebih dahulu perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”), nazhir meliputi perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Agar badan hukum dapat menjadi nazhir haruslah memenuhi persyaratan:[1]

  1. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan, yang bisa dilihat pada Pasal 10 ayat (1) UU Wakaf;
  2. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  3. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Kemudian terdapat syarat tambahan bagi badan hukum yang akan menjadi nazhir, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“PP Wakaf”), yaitu:

  1. badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam;
  2. pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan;
  3. salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada;
  4. memiliki:
    1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
    2. daftar susunan pengurus;
    3. anggaran rumah tangga;
    4. program kerja dalam pengembangan wakaf;
    5. daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan
    6. surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
 Sementara itu, menyambung pertanyaan Anda, Yayasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan perubahannya termasuk dalam kategori badan hukum. Maka pertama-tama, calon nazhir dari yayasan yang Anda maksud harus dipastikan terlebih dahulu memenuhi persyaratan sebagaimana disebut di atas.

Alternatif Cara Ganti Nazhir

Adapun mengenai perubahan status nazhir perseorangan ke nazhir yayasan, setidaknya terdapat 3 alternatif cara:

  1. Pengunduran diri nazhir perseorangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PP Wakaf, kedudukan nazhir dalam hal ini perseorangan dapat berhenti jika: meninggal dunia; berhalangan tetap; mengundurkan diri; atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia (“BWI”).

Jika nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagai nazhir, maka nazhir harus melaporkan ke Kantor Urusan Agama (“KUA”) untuk selanjutnya diteruskan kepada BWI paling lambat 30 hari sejak tanggal berhentinya nazhir perseorangan.[2]

Dalam hal tidak ada KUA setempat, maka laporan dapat disampaikan oleh nazhir ke KUA terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/kabupaten/ kota.[3] Selanjutnya, pengganti nazhir tersebut akan ditetapkan oleh BWI.[4]

  1. Atas dasar inisiatif KUA dapat mengusulkan kepada BWI agar dilakukan pemberhentian dan penggantian nazhir jika dalam jangka satu tahun sejak terbitnya Akta Ikrar Wakaf (AIW), nazhir tidak menjalankan tugasnya.[5]
  1. Atas usulan wakif atau ahli waris wakif kepada Kepala KUA dapat mengusulkan agar dilakukan pemberhentian dan penggantian nazhir, yang selanjutnya akan diusulkan kepada BWI.[6]    
Sehingga perlu digarisbawahi, pemberhentian dan penggantian nazhir adalah kewenangan BWI, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sebagai perwakilan. Sebagai contoh, jika harta benda wakaf Anda berupa tanah, untuk klasifikasi luasan tanah wakaf di atas 20.000 meter2 menjadi kewenangan BWI pusat. Tapi jika luasan tanah wakafnya antara 1.000 sampai dengan 20.000 meter2, maka menjadi kewenangan BWI provinsi. Sedangkan jika luasan tanah wakafnya kurang dari 1.000 meter2, maka menjadi kewenangan BWI kabupaten/kota.[7]

Sebelumnya jika kita melihat berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), pemberhentian dan penggantian nazdir menjadi kewenangan KUA, namun sekarang sudah tidak lagi.[8] Kewenangan pemberhentian dan penggantian nazhir kini menjadi kewenangan BWI sebagaimana telah diterangkan.

 Sementara itu KUA, hanya menerbitkan surat pengantar permohonan pergantian nazhir yang ditujukan kepada BWI. Surat pengantar tersebut harus menyebutkan alasan penggantian dan pemberhentian nazhir sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya masih bersumber dari laman yang sama, setelah surat keputusan BWI tentang penggantian dan pemberhentian nazhir terbit, lalu nazhir harus mengurus surat pengesahan nazhir yang baru di KUA setempat agar dicatatkan kembali sebagai nazhir yang baru yang sah mengelola wakaf.

Dasar Hukum:

Referensi:


[1] Pasal 10 ayat (3) UU Wakaf

[2] Pasal 6 ayat (1) PP Wakaf

[3] Pasal 6 ayat (3) PP Wakaf

[4] Pasal 6 ayat (1) PP Wakaf

[5] Pasal 6 ayat (4) PP Wakaf

[6] Pasal 6 ayat (4) PP Wakaf

[8] Pasal 221 ayat (1) KHI